Asas Demokrasi kita adalah "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Potongan kalimat yang simpel namun maknanya sangat berharga untuk rakyat Indonesia. Rakyatlah yang berkuasa di Bumi Pertiwi tercinta ini. Tak boleh ada yang merampas kemerdekaan dan kedaulatan kita sebagai Rakyat Nusantara.
Sebagai salah satu tanda bahwa rakyat Indonesia lah yang berkuasa di negeri ini, rakyat Indonesia bisa sejajar dengan kepala pemerintahan, yaitu presiden. Dalam hal ini tentu saja diwakili oleh lembaga legislatif, yang di dalamnya terdapat para anggota DPR dan DPD. Dikatakan demikian karena para anggota DPR dan DPD ini merupakan segeliintir orang yang telah bersumpah untuk mengemban aspirasi dan amanah kita, Rakyat Indonesia, secara demokratis dan konstitusional.
Dengan Asas Demokrasi, maka para anggota legislatif yang terhormat harus bekerja sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Para anggota legislatif harus menjamin kemerdekaan rakyat, harus menjamin pemenuhan hak rakyat Indonesia, yang salah satunya adalah hak konstitusional dalam berdemokrasi.
Setelah Pemilu 2014 selesai dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil), maka didapat para anggota legislatif dan presiden serta wakilnya yang terpilih. Namun, belum sampai para "pemenang" Pemilu 2014 itu dilantik, ada kesan anggota DPR produk lama ingin menyulitkan pemerintah periode yang baru. Di kala pemerintahan terpilih yang baru hendak menjalankan pemerintahan dengan demokratis dan konstitusional, anggota legislatif produk lama malah membuat RUU yang mencederai demokrasi. Anggota legislatif yang terhormat tersebut kini bersama Mendagri tengah membahas pengesahan RUU Pilkada tidak langsung.
Pasca Reformasi, sitem yang berjalan di Indonesia banyak mengalami perubahan. Salah satu contohnya di bidang pendidikan. Kini tidak ada lagi "penyesatan" sejarah dalam mata pelajaran sejarah nasional. Kini pembelajaran terhadap siswa lebih terbuka dan lebih berbobot dalam hal fakta datanya. Termasuk juga dalam pemebelajaran pendidikan kewarganegaraan. Siswa digembleng untuk mengenal dan memahami sistem demokrasi Indonesia.
Jika saja RUU Pilkada tidak langsung itu jadi disahkan, maka akan terjadi "penyesatan logika" siswa dalam memahami sistem demokrasi di Indonesia. Bagaimana tidak, siswa yang sejak duduk di bangku kelas IV (empat) SD/MI sudah dikenalkan dengan sistem demokrasi pasca reformasi, kelak harus menerima pengingkaran dari apa yang telah dipelajarinya. Salah satu contohnya pada saat ini siswa dengan susah payah telah diarahkan mindset-nya untuk memahami tuntutan kurikulum tentang sistem demokrasi di Indonesia. Saat ini siswa telah faham kalau proses pemilihan kepala desa berbeda dengan proses pemilihan lurah. Saat ini siswa telah faham dengan asas demokrasi dan asas Pemilu Luber-Jurdil. Namun tiba-tiba, kini ada segelintir orang yang mengaku membawa aspirasi rakyat, ingin merampas pemahaman siswa tersebut. Dan justru berusaha untuk membelokkan pola fikir siswa yang telah lama dengan susah payah dibangun. Apakah perlu pemerintah kembali merubah kurikulum yang sekarang sedang dirintis yang katanya sebagai kurikulum terbaik namun belum teruji dan mahal itu?
Terlalu dungu para anggota legislatif sekarang jika sampai mengesahkan RUU Pilkada oleh DPRD itu dengan alasan hanya untuk penghematan anggaran, menghidari konflik horizontal, dan mencegah terjadinya moneypolitic dan korupsi. Khusus untuk alasan mencegah korupsi, justru sang legislator seolah menjilat ludah sendiri karena telah mengesahkan UU MD3, yang dinilai membatasi ruang gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rakyat memilih anggota legislatif bukan untuk dibuatkan kebijakan yang merenggut hak konstitusionalnya. Termasuk hak untuk memilih langsung kepala daerah. Para anggota legislatif dipilih rakyat untuk dapat menciptakan inovasi-inovasi cerdas yang dapat memuaskan rakyat. Rakyat tak butuh wakil-wakilnya hanya sekumpulan orang bodoh minim prestasi dan tidak produktif, yang produk undang-undangnya kerap dibatalkan oleh Mahkamah Konstistusi (MK).
Kalau sekedar untuk penghematan, salah satu contohnya bisa meniru Malaysia dan India. Kedua negara tersebut mewajibkan para pejabatnya untuk menggunakan kendaraan buatan dalam negerinya yang murah meriah. Tidak lucu kalau untuk alasan penghematan, DPR malah merampas hak rakyat yang telah diperjuangkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu dan memilih kembali menggunakan undang-undang produk DPR "pra sejarah" reformasi. Kalau demikian kejadiannya, artinya DPR sekarang tidak becus bekerja. Jika biaya Pemilu sekarang itu mahal, maka bisa diciptakan inovasi alat sistem Pemilu berbasis elektronik dengan memaksimalkan fungsi E-KTP. Dengan demikian tak perlu biaya penetapan DPT yang tetap saja kisruh, tak perlu biaya pencetakan dan pelipatan kertas suara yang kerap bermasah, tak perlu biaya untuk selenggarakan pleno tingkat PPS sampai Provinsi, dan tak perlu waktu lama terbuang untuk sekedar menunggu tahapan proses rekap suara dari TPS sampai ke tabulasi KPU pusat. Dengan waktu yang singkat pasca pemungutan ke waktu pengumuman hasil Pemilu oleh KPU, secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya konflik horizontal yang berkepanjangan. Dan yang paling penting, hak konstitusional rakyat tetap terjamin.
Pilkada oleh DPRD tidak menjamin akan terbebas dari moneypiltic dan korupsi. Jika Pilkada itu dilaksanakan langsung oleh rakyat, maka prosesnya sangat terbuka bisa langsung diawasi oleh rakyat. Sehingga potensi terjadinya moneypolitic dan korupsi sebenarnya minim, dan kalau pun hal itu terjadi mudah untuk mengawasi dan melaporkannya. Berbeda jika Pilkada dilakukan oleh DPRD, rakyat tidak tau proses yang berlangsung di dalamnya. Potensi terjadinya moneypiltic dan korupsi sangat mungkin. Dan jika moneypiltic dan korupsi terjadi dalam prose Pilkada oleh DPRD, maka rakyat tidak bisa mengawasi dan melaporkannya. Dan parahnya lagi, kepala daerah yang berhasil terpilih oleh DPRD kelak, belum tentu pilihan mayoritas rakyat.
Sebelum hal itu terjadi, dan sebelum kemerdekaan warga negara dirampok oleh segelintir orang, maka semoga saja para anggota legislatif yang sedang membahas pengesahan RUU Pilkada oleh DPRD itu terketuk hatinya untuk kembali ke jalan yang benar dan mengabaikan bisikan sesat dari para politisi haus kekuasaan. Dengan demikian, rakyat akan kembali percaya terhadap kredibilitas anggota DPR sebagai wakilnya yang akan berjuang memperjuangkan aspirasi dan amanah mayoritas rakyat untuk kemerdekaan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.